Sunday, January 6, 2013

Presiden RI - Susilo Bambang Yudhoyono: Bubarkan FPI Segera!


 Presiden RI - Susilo Bambang Yudhoyono: Bubarkan FPI Segera!
Kepada Yth : Bapak Presiden RI – Susilo Bambang Yudhoyono
Assalamualaikum W.W.
Adalah mustahil mengingkari amanat konstitusi bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat merupakan hak azasi manusia yang dilindungi undang-undang. Namun menjadi persoalan besar ketika hak azasi itu dipakai oleh Front Pembela Islam (FPI) untuk menekan hak azasi pihak lain, bahkan dalam jumlah yang mayoritas juga berkeinginan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, bebas menganut agama serta bebas beribadah sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Sejak pertama berdiri menjelang reformasi, rakyat menyaksikan dan media mencatat, FPI ratusan kali melakukan kekerasan, mengganggu keamanan dan ketertiban, menyebarluaskan permusuhan dan kebencian antar suku, agama, ras, gender dan antar golongan bahkan perorangan.
Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC) secara berkala menerima laporan masyarakat dari berbagai wilayah tentang kesewenang-wenangan / brutalitas FPI, terutama pada mereka yang berbeda ideolongi dengannya, serta mereka yang tidak patuh pada keinginan dan ancaman-ancaman FPI.
Meresahkannya perilaku FPI sudah berulangkali melahirkan tuntutan masyarakat agar Pemerintah membubarkan Ormas ini. Namun disinilah letak masalahnya. Sikap Pemerintah/Kepolisian, termasuk sikap Presiden, kasat mata menunjukkan betapa Pemerintah seolah kehilangan wibawa di hadapan FPI sekaligus memperlihatkan nihilnya rasa tanggung-jawab Pemerintah melindungi rakyat yang hak azasinya dirampas oleh kesemena-menaan FPI.
Maka tidak salah apabila apa yang menimpa gereja GKI Yasmin Bogor dan gereja HKBP Filadelfia Tambun, Bekasi dirasakan masyarakat sebagai bentuk pembiaran Negara yang sudah tidak bisa diterima akal. Bertahun-tahun dua gereja ini tidak bisa beribadah sebagaimana mestinya karena terus menerus diterror FPI. Satu setengah tahun GKI Yasmin beribadah di trotoar, selanjutnya, hampir setahun mereka beribadah sambil mengadukan nasib di depan Istana Presiden, namun Negara, Pemerintah, juga Presiden, diam.
FPI tidak hanya menyasar mereka yang berbeda agama dengannya termasuk tiga klenteng yang mereka serbu di Makassar, komunitas Budha di Lampung dan Bali, serta rangkaian terror ke komunitas Ahmadiyah. FPI juga berambisi mengatur jalan pikiran, menentukan dan memaksakan standard moral yang berlaku, dan mereka yang menolak standar FPI akan dinyatakan kafir, perusak moral dan perusak alam semesta.
Komunitas seni, kesenian dan seniman, mulai dari tingkat tradisi, modern hingga kesenian pop juga sangat sering jadi korban bulan-bulanan FPI. Pembuatan Film Lastri di Solo (2008) misalnya, sudah menghabiskan biaya persiapan ratusan juta rupiah, berhenti total karena FPI mengharamkan. Izin produksi yang dikeluarkan Mabes Polri diinjak-injak di depan mata anggota Polri, dan Polisi diam. 

Konser Lady Gaga dibatalkan Kepolisian karena FPI mengancam akan membuat Jakarta rusuh. Biaya persiapan yang pasti mahal dan pengembalian 50 ribu tiket yang sudah terjual menjadi beban penyelenggara, sementara kepala FPI yang secara terbuka dan angkuh melontarkan ancaman tidak ditindak, padahal ancaman/terror adalah tindak pidana.
Missi suci FPI sebagai pejuang moral dengan merusak café-café / restoran / bar dan tempat billiyar karena menjual miras pada bulan Ramadhan, serta menyerbu tempat2 pelacuran pun tidak sesuci yang terdengar. Banyak laporan masuk ke RSCC mengatakan Laskar Pembela Islam (LPI) para militernya FPI, bisa seketika kehilangan taring dan melupakan missi sucinya, apabila target bersedia damai dan menyodorkan uang.
Bahkan sesuai penelitian RSCC pada tahun 2005, semua warung/gerobak rokok di Jakarta ditempeli stiker “Kawasan FPI” sebagian “Kawasan FBR”. Dua kelompok ini tiap sore memungut 5 ribu hingga 15 ribu rupiah dari tiap pedagang rokok. Hasil penelitian ini sudah dilaporkan RSCC pada Polda Metro Jaya (2006). FBR dibekukan tak lama setelah itu, sementara FPI aman.

Presiden SBY dua kali mengeluarkan pendapat mengenai ormas brutal.
Pertama, pada perayaan hari Pers Nasional di Kupang NTT, 2011. Meski tak menyebut nama organisasi, Presiden memerintahkan agar organisasi massa yang menciptakan keresahan ditindak tegas, jika perlu dibubarkan. Sayang, Presiden hanya berhenti di pernyataan. Tidak diikuti dengan pengawasan (up-date), apakah perintah dalam pernyataannya dipatuhi aparatnya. Padahal tahun 2011, Mabes Polri mencatat, FPI melakukan aksi kekerasan dan pelanggaran hukum sebanyak 29 kali dari total seluruhnya 51 kali pelanggaran yang dilakukan seluruh ormas di Indonesia.
Kedua, dilontarkan saat jumpa pers di Istana Negara, 13 Maret 2012. Presiden menyatakan ormas yang dianggap paling sering melakukan aksi kekerasan adalah Front Pembela Islam (FPI). Celakanya, Presiden hanya meminta FPI melakukan instrospeksi diri padahal introspersi diri adalah selemah-lemahnya gagasan dalam mengatasi kelompok sebrutal dan sesemena-mena FPI. Sialnya lagi, Presiden tidak pernah terdengar meminta Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian untuk melakukan introspeksi diri. 
Karena perubahan tidak akan turun begitu saja dari langit kecuali rakyat bangkit merebutnya, maka sudah saatnya masyarakat Indonesia menuntut dengan tegas pembubaran Front Pembela Islam (FPI).
"Membiarkan brutalitas FPI, sama artinya menghancurkan ke-Indonesia-an kita dan menghilangkan nilai-nilai keadaban yang terangkum dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yakni: Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika." 
Secara yuridis pembubaran ormas brutal dimungkinkan dengan UU No 8/1985 tentang Ormas dan PP No 18/1986. Alternatif lain, dapat ditempuh melalui jalur pertanggungjawaban pidana korporasi. Korporasi, termasuk di dalamnya Ormas, sebagai suatu sistem harus mampu memberi pertanggung jawaban fungsi sosialnya.
Namun cara paling tepat adalah model seperti yang pernah dilontarkan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD: “Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) tidak membutuhkan pengadilan. Cukup aparat kepolisian menyatakan aktivitas FPI dihentikan.” Cara ini jadi paling tepat tidak hanya karena lebih efisien dalam proses, tapi karena FPI tidak pernah terdaftar sebagai Ormas berbadan hukum formal. Ratusan tindakan brutal FPI selama ini bisa dijadikan dasar untuk meminta FPI menghentikan aktivitasnya.

Beranjak dari pemikiran-pemikiran di atas, Ratna Sarumpaet Crisis Centermelayangkan petisi ini pada seluruh rakyat Indonesia agar menanda tanganinya untuk kemudian dilayangkan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, c.q Kapolri"Agar segera membubarkan Front Pembela Islam atau FPI, serta membebukakan aktivitasnya."
Kepada Bapak Presiden SBY dan jajaran kami meminta dengan sangat agar tidak ragu dan tidak menyia-nyiakan tuntuntan dalam petisi ini. Rakyat menghendaki bangsa ini memiliki kehidupan yang wajar, memiliki hubungan antar masyarakat yang harmonis, saling menghormati dan damai, dan untuk kepentingan itu seluruh rakyat ada di belakang Bapak dan jajaran  Bapak.
Demikianlah petisi ini kami buat, dengan memohon pada Allah SWT agar melindungi bangsa ini untuk selamanya, amien. 
Wabilahi taufik walhidayah, wassalamualaiku, WW.
  
Ratna Sarumpaet
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Brother baner

SEPUTAR BLOG,INTERNET,KOMPUTER.

WAHYOKU BLOG

Banner tatelu


 BELAJAR BARENG