Laporan yang dipaparkan Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Rumadi, itu menyebutkan bahwa FPI masuk kategori pelaku pelanggar kebebasan beragama oleh non-negara atau unsur masyarakat. Sebab, ada kategori lain, yakni pelaku pelanggaran kebebasan beragama oleh aparatur negara seperti Kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Menyusul FPI di posisi berikutnya sebagai pelaku pelanggaran kebebasan beragama dalam kategori non-negara adalah warga masyarakat sebanyak 51 tindakan, individu sebanyak 25 tindakan, MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebanyak 24 tindakan, dan tokoh agama sebanyak 12 tindakan.
Khusus soal MUI, The Wahid Institute menyebut lembaga tersebut "naik kelas", karena pada tahun 2011 berada di posisi 7 dan pada tahun ini pada posisi 4.
"Bentuk tindakan intoleransi yang paling sering dilakukan MUI adalah fatwa-fatwa keagamaan yang menyesatkan kelompok lain, di mana MUI juga meminta Pemerintah melarang kelompok tersebut. Selain itu, MUI kerap menebar rasa benci terhadap aliran-aliran yang mereka sesatkan," tutur Rumadi.
Menanggapi laporan The Wahid Institute, Ketua Dewan Pembina Daerah FPI Jakarta Habib Salim Alatas, balik mempertanyakan kasus pelanggaran seperti apa yang dilakukan FPI. Selama ini FPI senantiasa menjunjung sikap toleransi kebebasan beragama. Namun tidak ada toleransi terhadap segala bentuk penodaan agama.
"Kami selalu menghormati prinsip kebebasan beragama. Tapi untuk hal-hal yang bersifat penodaan agama, itu tidak bisa kami terima dong. Misalnya ada yang mengaku nabi baru, itu kan termasuk penodaan agama," ujar Salim saat dihubungi, Jumat 28 Desember 2012.
Oleh karena itu, Salim tak ingin terlalu memikirkan catatan dalam laporan The Wahid Institute terkait FPI itu. Ia menganggap penelitian itu telah salah kaprah. "Kami anggap itu angin lalu saja. Islam itu mengajarkan cinta damai, FPI pun cinta damai." kata Salim.
Selama ini, FPI dalam melakukan kegiatan selalu berkoordinasi dengan pihak berwenang. "Masyarakat resah dengan aktifitas tempat maksiat, misalnya, kami laporkan ke polisi. Kalau polisi tidak melakukan tindakan apa-apa, ya masyarakat bergerak. FPI hanya mendukung masyarakat di situ," kata Salim.
Pembiaran
Laporan yayasan yang didirikan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga merilis bahwa pembiaran atau kelalaian aparat penegak hukum adalah bentuk tindakan terbanyak pelanggaran, yakni sebanyak 33 kasus.
Dalam banyak kasus, aparat tidak menindak pelaku intoleransi atau pelanggaran hukum atas dasar agama yang umumnya dilakukan kelompok mayoritas. "Yang diminta mengalah dan dievakuasi biasanya justru korban. Alasannya, demi menghindari konflik yang lebih besar."
"Lihat saja yang terjadi dalam kasus pelaksanaan ibadah HKBP Filadelfia Kabupaten Bekasi atau GKI Yasmin. Tahun ini masih dijumpai tindakan 'mengorbankan korban' dalam bentuk kriminalisasi lewat pasal penodaan atau menyebarkan kebencian dan permusuhan. Di antaranya dialami Pemimpin Syiah Tajul Muluk," papar Rumadi.
Sedangkan korban terbanyak korban pelanggaran oleh aparatur negara adalah umat kristiani dengan 37 tindakan. Setelahnya disusul kelompok yang diduga sesat (25 tindakan), individu (14 tindakan), anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (13 tindakan), anggota/penganut Syiah (12 tindakan). (umi)Laporan yayasan yang didirikan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga merilis bahwa pembiaran atau kelalaian aparat penegak hukum adalah bentuk tindakan terbanyak pelanggaran, yakni sebanyak 33 kasus.
Dalam banyak kasus, aparat tidak menindak pelaku intoleransi atau pelanggaran hukum atas dasar agama yang umumnya dilakukan kelompok mayoritas. "Yang diminta mengalah dan dievakuasi biasanya justru korban. Alasannya, demi menghindari konflik yang lebih besar."
"Lihat saja yang terjadi dalam kasus pelaksanaan ibadah HKBP Filadelfia Kabupaten Bekasi atau GKI Yasmin. Tahun ini masih dijumpai tindakan 'mengorbankan korban' dalam bentuk kriminalisasi lewat pasal penodaan atau menyebarkan kebencian dan permusuhan. Di antaranya dialami Pemimpin Syiah Tajul Muluk," papar Rumadi.
sumber