Thursday, December 13, 2012

Agnostik: Untuk Apa Anda Percaya?

“Demi Tuhan, bila langkah ini adalah kebodohan, maka saya akui bahwa saya adalah makhluk paling bodoh sepanjang zaman.”
Konfirmasi saya mengenai Tuhan adalah bahwa saya tidak tahu. Karena itulah saya pikir saya seorang agnostik, orang yang tidak mengetahui. Saya tidak akan menyangkal ketika anda mengatakan bahwa saya adalah manusia bodoh atau manusia peragu. Seperti artikel yang baru-baru ini saya temukan dengan judul fantastis : ‘Agnostik adalah Kebodohan Sempurna, Atheis adalah Kesombongan Sempurna’.
Saya takjub dengan penulisnya. Beliau pastilah orang yang sangat pintar dan rendah hati, atau kalau tidak, beliau pastinya orang yang sangat sok tahu. Dan karena saya menghargai kejujuran, maka saya akui saya lebih menganggapnya sebagai sok tahu.
Saya akan mencoba berbagi pandangan dengan teman-teman disini. Terutama mengenai penegasan apakah agnostik itu bodoh dan peragu. Saya katakan, ya. Kami bisa jadi adalah manusia bodoh, tetapi ‘peragu’ butuh penjabaran lebih jauh. Dengan mengatakan bahwa kami bodoh, tidak menutup peluang bahwa anda juga bodoh. Tapi tentu saja bukan itu point-nya :D
· Tahukah anda relativisme Einstein?
· Tahukah anda bagaimana handphone bisa mengirim sms?
· Tahukah anda mengapa begitu banyak orang di Indonesia setidaknya di dunia maya ini yang menganggap agnotisisme adalah pilihan ragu dan bodoh?
Biar saya yang menjawab bagian terakhir ini : karena mereka lupa perbedaan antara kata percaya dan tahu. Tahukah anda bedanya?
Bagi saya, setidaknya ada dua kategori manusia berkaitan dengan ketuhanan :
1. Orang yang mencari keyakinan
2. Orang yang mencari pengetahuan.
Perbedaan di antara keduanya akan terlihat dalam situasi berikut :
A : Apakah anda percaya Tuhan ada?
Believer : Ya
Saya : Hmm . . . tidak begitu.
Kenapa saya menjawab ‘Hmm’ dan ‘Tidak begitu’? Karena begitulah menurut saya seharusnya. Keberadaan Tuhan ranahnya objektif. Jadi mau bagaimanapun anda yakin dengan keyakinan anda mengenai Tuhan, itu tidak menjawab apakah Tuhan itu ada atau tidak. Ringkasnya, di kesempatan lain ketika saya sedang malas menerangkan, maka saya mungkin langsung akan menjawab to the point sehingga banyak yang salah tangkap.
A : Apakah anda percaya Tuhan ada?
Saya : Tidak.
Jawaban ‘tidak’ saya tidak bisa diartikan sebagai ’saya percaya tuhan tidak ada’. Malah, ini merupakan jawaban kebalikannya, yaitu : ’saya tidak percaya Tuhan ada’ demikian pula, saya juga ‘tidak percaya Tuhan tidak ada.’ Kenapa? Sekali lagi, ranahnya objektif, dan mengambil kesimpulan di ranah tersebut dengan sebuah subjektivitas yakni keyakinan, adalah hal yang kurang tepat.
Biar saya perjelas disini, bagi saya pribadi ketika anda menyodorkan dua pilihan apakah Tuhan itu ada atau tidak, saya akan menjawab tidak tahu. Maka beberapa dari anda akan memaksa saya untuk mengambil posisi, yang sebenarnya, adalah bukti kebingungan anda.
Analogikan anda dan saya sedang meneliti mengenai makanan yang ada di hadapan kita. Berbagai bukti diuji dan akhirnya dikonfirmasi bahwa makan tersebut merupakan soto. Disini, kita akhirnya tahu. Perkara sebelumnya anda percaya atau tidak, bukan urusan saya. Tapi untuk apa kepercayaan tersebut??? Sangat mengherankan bukan?
A : Mari kita uji makanan ini.
B : Kalau sudah kau uji, saya tidak bisa percaya lagi dong?
Beberapa orang mengatakan bahwa pilihan mereka didasarkan pada bukti rasional. Maaf, saya menyela, tapi apapun bukti rasional yang anda tawarkan, bahkan ketika konfirmasi itu nyata, buktinya sudah bisa diverifikasi dengan akurat, maka kita tidak perlu percaya lagi. Kita sudah sampai tahap bahwa kita tahu. Dan beberapa dari kita sepertinya masih bingung antara ’sudah tahu’ atau hanya sedang ‘memupuk keyakinannya’.
Saya ambil contoh : Harun Yahya. Beliau berangkat dari kepercayaan bahwa Tuhan itu ada, maka beliau kemudian membawa sekian bukti bahwa Tuhan itu ada. Beliau adalah kategori ’si pemupuk keyakinan.’
Nah, sekarang setalah kita membedakan antara kepercayaan dan pengetahuan, sebenarnya tidak perlu lagi dijelaskan mengenai apakah seorang agnostik itu ragu atau tidak. Singkatnya, kami memang seolah ragu dengan ketuhanan. Tapi itu hanya berarti bahwa kami tidak tahu dan tidak mengambil sikap terhadap kepercayaan, yang kemudian ditafsirkan sebagai plin plan/ peragu. Padahal, disinilah letak kebingungan masyarakat pada umumnya, yang mencampuradukkan antara keberadan Tuhan dengan keberadaan menurut pendapatnya.
· Believer : Oh, bukankah kami adalah makhluk bodoh karena tidak bisa melihat bukti-bukti keberadaanMu?
· Saya : Doamu???

 sumber

Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Brother baner

SEPUTAR BLOG,INTERNET,KOMPUTER.

WAHYOKU BLOG

Banner tatelu


 BELAJAR BARENG