Konfirmasi
saya mengenai Tuhan adalah bahwa saya tidak tahu. Karena itulah saya
pikir saya seorang agnostik, orang yang tidak mengetahui. Saya tidak
akan menyangkal ketika anda mengatakan bahwa saya adalah manusia bodoh
atau manusia peragu. Seperti artikel yang baru-baru ini saya temukan
dengan judul fantastis : ‘Agnostik adalah Kebodohan Sempurna, Atheis
adalah Kesombongan Sempurna’.
Saya
takjub dengan penulisnya. Beliau pastilah orang yang sangat pintar dan
rendah hati, atau kalau tidak, beliau pastinya orang yang sangat sok
tahu. Dan karena saya menghargai kejujuran, maka saya akui saya lebih
menganggapnya sebagai sok tahu.
· Tahukah anda relativisme Einstein?
· Tahukah anda bagaimana handphone bisa mengirim sms?
· Tahukah
anda mengapa begitu banyak orang di Indonesia setidaknya di dunia maya
ini yang menganggap agnotisisme adalah pilihan ragu dan bodoh?
Biar saya yang menjawab bagian terakhir ini : karena mereka lupa perbedaan antara kata percaya dan tahu. Tahukah anda bedanya?
Bagi saya, setidaknya ada dua kategori manusia berkaitan dengan ketuhanan :
1. Orang yang mencari keyakinan
2. Orang yang mencari pengetahuan.
Perbedaan di antara keduanya akan terlihat dalam situasi berikut :
A : Apakah anda percaya Tuhan ada?
Believer : Ya
Saya : Hmm . . . tidak begitu.
Kenapa
saya menjawab ‘Hmm’ dan ‘Tidak begitu’? Karena begitulah menurut saya
seharusnya. Keberadaan Tuhan ranahnya objektif. Jadi mau bagaimanapun
anda yakin dengan keyakinan anda mengenai Tuhan, itu tidak menjawab
apakah Tuhan itu ada atau tidak. Ringkasnya, di kesempatan lain ketika
saya sedang malas menerangkan, maka saya mungkin langsung akan menjawab to the point sehingga banyak yang salah tangkap.
A : Apakah anda percaya Tuhan ada?
Saya : Tidak.
Jawaban
‘tidak’ saya tidak bisa diartikan sebagai ’saya percaya tuhan tidak
ada’. Malah, ini merupakan jawaban kebalikannya, yaitu : ’saya tidak
percaya Tuhan ada’ demikian pula, saya juga ‘tidak percaya Tuhan tidak
ada.’ Kenapa? Sekali lagi, ranahnya objektif, dan mengambil kesimpulan
di ranah tersebut dengan sebuah subjektivitas yakni keyakinan, adalah
hal yang kurang tepat.
Biar
saya perjelas disini, bagi saya pribadi ketika anda menyodorkan dua
pilihan apakah Tuhan itu ada atau tidak, saya akan menjawab tidak tahu.
Maka beberapa dari anda akan memaksa saya untuk mengambil posisi, yang
sebenarnya, adalah bukti kebingungan anda.
Analogikan
anda dan saya sedang meneliti mengenai makanan yang ada di hadapan
kita. Berbagai bukti diuji dan akhirnya dikonfirmasi bahwa makan
tersebut merupakan soto. Disini, kita akhirnya tahu.
Perkara sebelumnya anda percaya atau tidak, bukan urusan saya. Tapi
untuk apa kepercayaan tersebut??? Sangat mengherankan bukan?
A : Mari kita uji makanan ini.
B : Kalau sudah kau uji, saya tidak bisa percaya lagi dong?
Beberapa
orang mengatakan bahwa pilihan mereka didasarkan pada bukti rasional.
Maaf, saya menyela, tapi apapun bukti rasional yang anda tawarkan,
bahkan ketika konfirmasi itu nyata, buktinya sudah bisa diverifikasi
dengan akurat, maka kita tidak perlu percaya lagi. Kita sudah sampai
tahap bahwa kita tahu. Dan beberapa dari kita sepertinya masih bingung
antara ’sudah tahu’ atau hanya sedang ‘memupuk keyakinannya’.
Saya
ambil contoh : Harun Yahya. Beliau berangkat dari kepercayaan bahwa
Tuhan itu ada, maka beliau kemudian membawa sekian bukti bahwa Tuhan itu
ada. Beliau adalah kategori ’si pemupuk keyakinan.’
Nah,
sekarang setalah kita membedakan antara kepercayaan dan pengetahuan,
sebenarnya tidak perlu lagi dijelaskan mengenai apakah seorang agnostik
itu ragu atau tidak. Singkatnya, kami memang seolah ragu dengan
ketuhanan. Tapi itu hanya berarti bahwa kami tidak tahu dan tidak
mengambil sikap terhadap kepercayaan, yang kemudian ditafsirkan sebagai
plin plan/ peragu. Padahal, disinilah letak kebingungan masyarakat pada
umumnya, yang mencampuradukkan antara keberadan Tuhan dengan keberadaan
menurut pendapatnya.
· Believer : Oh, bukankah kami adalah makhluk bodoh karena tidak bisa melihat bukti-bukti keberadaanMu?
· Saya : Doamu???