Monday, December 10, 2012
Perempuan dan Bias Jender Kitab Suci
Masih pada ngikutin informasi soal Bupati Garut, Aceng HM Fikri? Berikut tujuh pernyataan kontroversial Sang Bupati yang menuai kecaman publik. Seperti yang dikutip dari media online, Bisnis-KTI.com:
1. “Saya sudah keluar uang hampir habis Rp 250 juta, hanya nidurin satu malam. Nidurin artis saja tidak segitu harganya.”
2. “Karena nikah itu kan perdata, perikatan, akad. Jadi kalau dianalogikan, tidak ada bedanya nikah dengan jual-beli, kalau tidak sesuai speknya, ya tidak apa-apa dikembalikan.”
3. “Sumpah demi Allah, demi Rasulullah. Saya kan duda, pernah punya istri.” Padahal Aceng belum bercerai dengan isterinya.
4. “Terlepas yang namanya perawan itu dipakai lalu berdarah. Tapi ini, dari ekspresi dia (F0) seperti orang yang sudah terbiasa.”
5. “Saya heran, kenapa peristiwa (kasus nikah) mencuat saat ini, yang kebetulan menjelang Pilkada 2013.”
6. “Sahabat Rassul juga ada yang ceraikan bininya dalam sehari, gara-gara betisnya cacad, itu ada hadis-nya.” (penulis tidak menemukan hadis yang dinyatakan oleh Aceng).
7. “Perceraian ini adalah suatu takdir, perjalanan pernikahan mau lima hari, tiga hari, bahkan satu hari pun tidak masalah kalau pihak laki-laki tidak merasa cocok.”
Dalam wacana gerakan jender, kitab suci seringkali dituduh sebagai biang keladi terhadap perlakuan tidak pantas terhadap perempuan. Jika hal ini benar adanya, maka secara tidak langsung agama menjadi wahana dalam menindas perempuan. Karena kitab suci bagi agama adalah lampu penerang yg menjadi petunjuk hidup setiap umatnya.
Ada dua unsur penting yang berkontribusi dalam pembangunan wacana keagamaan yg bias jender tentang perempuan, yakni faktor teologi dan mitos. Ada sebuah kesimpulan yg menyatakan bahwa perlakuan diskrimintaif terhadap perempuan yg terjadi pada umat Islam terkadang berdasarkan mitos, tapi dianggap kitab suci. Kepercayaan-kepercayaan yg berasal dari budaya dimasukkan dan diakui sebagai berasal dari firman Tuhan.
Bicara soal perempuan, budaya kuno, mulai dari budaya Yunani, Persi, Arab kuno dan pra Islam mempengaruhi ulama dalam memahami ayat Al-qur’an. Mengenai hal ini dalam sejarah tafsir al-Qur’an ada satu hal yg harus diingat dalam melihat corak tafsir para ulama, yaitu persoalan pergolakan politik.
Seringkali suatu tafsiran yg ditulis oleh ulama pada dasarnya menyimpang dari substansi ayat yg sesungguhnya karena pengaruh budaya yg ada. Selalu muncul potensi pengurangan, penyelewengan, bahkan menghilangkan makna suatu ayat ketika seseorang membaca Al-Qur’an.
Misalnya, dalam surat An-Nisa ayat 34 yg selalu dijadikan argumentasi menomorduakan perempuan. “Ar-rijaalu qawwaamuuna ‘ala an-nisa’i…bima fadhdhalallaahu ba’dhan ‘ala ba’dhin wa bima anfaqu,” laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, sebab kelebihan mereka dan apa yg telah mereka nafkahkan.
Kata “ar-rijal” dan “an-nisa” dalam ayat tsb harusnya dibedakan dengan dua kata lain yg sinonim yaitu “dzakar” dan “untsa” yg juga ditujukan bagi lelaki dan perempuan. Kata “ar-rijal” yg merupakan jamak dari “rajul” dan “an-nisa” adalah menunjuk kepada jender, peran laki-laki dan perempuan secara sosial. Sedangkan kata “szakar” dan “untsa” bermakna jenis kelamin. Salah arti terhadap perbedaan inilah yg menyebabkan kekeliruan dlm tafsiran ayat 34 dari surat An-Nisa tsb.
“Ar-rijal” dan “an-nisa” menunjukkan potensi kelelakian dan keperempuanan, bukan pada jenis kelamin. Fungsi perempuan dan laki-laki dari aspek jender akan berbeda-beda, mengikut keadaan dan perkembangan sosiobudaya.
Bupati Garut, Aceng berpikir bahwa dengan alasan agama, maka segalanya akan beres. Alasan keabsahan sesuai agama digunakan untuk meredakan gejolak dari masyarakat Garut yang menganggap tindakan Aceng adalah tindakan pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan. Contoh lainnya adalah larangan untuk anak perempuan bersekolah oleh Thaliban di Afghanistan dan sebagian Pakistan yang dikuasai oleh ekstrimis Taliban. Perempuan dilarang bersekolah oleh karena kepercayaan agama Islam yang diintepretasikan oleh Taliban sesuai kepentingannya. Ini kemudian yg jadi alasan Taliban berusaha membunuh Malala.
Tindakan Aceng mirip dengan apa yang dilakukan oleh Taliban, keduanya memanfaatkan legitimasi agama untuk bertindak sesuai dengan keinginan dan tujuan yang hanya Taliban dan Aceng tahu motifnya.
sumber
0 Comments
Facebook Comments by
Media Blogger
Subscribe to:
Post Comments (Atom)