Tuesday, December 11, 2012

Mau Dibawa Kemana Sepakbola Kita, Pak?


Selasa, 11 Desember 2012 13:40 wib
Ilustrasi: Gelar Agryano Soemantri
Ilustrasi: Gelar Agryano Soemantri
Lelah, jenuh, muak..!!! Mungkin ini kata yang bisa menggambarkan perasaan publik pecinta sepakbola Indonesia. Masalah demi masalah nampaknya tidak pernah habis menghinggapi olahraga yang paling digemari ini.

Di Solo, 10 Juli 2011 lalu, masyarakat sepakbola Indonesia menyambut gembira berakhirnya rezim Nurdin Halid yang sebelumnya dituding sebagai biang kebobrokan sepakbola Indonesia. Harapan akan bangkitnya persepakbolaan kita pun mulai ditumbuhkan dalam diri Djohar Arifin Husin, Ketua Umum PSSI yang baru terpilih lewat jalur Kongres Luar Biasa (KLB).

Namun, asa tersebut justru kembali berubah jadi maki, lantaran sepakola Indonesia bak jalan di tempat. Bahkan, kali ini lebih buruk dari rezim Nurdin Halid. PSSI tak bisa tenang menjalankan kompetisi, lantaran terus diganggu KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) yang mengklaim didukung mayoritas klub.

Singkat cerita, ada dua organisasi yang mengurus kompetisi yang juga terbelah menjadi dua. Bahkan, sempat ada dua timnas Indonesia meski pada akhirnya Timnas PSSI-lah yang diakui dan tampil di ajang AFF  Cup 2012 (meski tidak diperkuat pemain terbaik).

Dualisme inilah yang kemudian membuat kondisi persepakbolaan Indonesia makin miris. Banyak muncul klub-klub asal jadi yang tercipta demi memuluskan ambisi masing-masing kubu menambah dukungan. Dengan dana yang tidak jelas, klub-klub ‘palsu’ tersebut membuat tim.

Hasilnya pun bisa ditebak, mereka kelimpungan membayar gaji para pemain yang mereka kontrak. Bahkan, baru-baru ini seorang pemain asing yang tengah mengadu nasib di persepakbolaan Indonesia, Diego Mendieta harus meregang nyawa.

Mendieta meninggal karena sakit yang dideritanya. Yang bikin miris, dia menghembuskan napas terakhir karena tidak mampu membayar biaya pengobatan lantaran gajinya selama empat bulan belum dibayarkan pihak klub, Persis Solo yang bermain di kompetisi divisi utama PT. Liga Indonesia (kubu KPSI).

Memang, usai kejadian tersebut manajemen Persis langsung melunasi gaji Mendieta. Namun, apakah itu jadi solusi? Apakah uang Rp100 juta itu bisa mengembalikan nyawa Mendieta? Membahagiakan istri dan ketiga anaknya di Paraguay sana? Tidak sama sekali..!!!

Insiden tragis sekaligus membuat malu Indonesia di mata dunia ini pun, diharapkan jadi titik balik bagi mereka yang berseteru untuk berdamai.  Namun, anehnya kematian Mendieta hanya dianggap angin lalu, mungkin hal yang biasa. Perseteruan PSSI-KPSI justru semakin runcing.

Kedua kubu ini tetap saling gontok-gontokan dan bertarung merebut kekuasaan. Memang, kedua kubu sempat menunjukkan itikad baik ketika dipertemukan Menpora, untuk menindaklanjuti surat FIFA yang meminta dualisme diakhiri lewat jalur kongres sebelum 10 Desember 2012, apabila tidak ingin terkena sanksi.

Usai pertemuan tersebut, Djohar dan La Nyalla Matalitti keluar ruangan dengan berjabat tangan dan tersenyum, seakan mereka berdua siap berdamai. Tapi ajaibnya, keesokan harinya kedua kubu kembali memberikan pernyataan yang berseberangan (kali ini terkait anggota voters).

Hasilnya pun bisa ditebak, kedua kubu sama-sama menggelar kongres (10/12) kemarin. PSSI menggelar kongres di Palangkaraya, sementara KPSI menggelar rapatnya di Jakarta.

Kedua organisasi yang sama-sama mengklaim sah ini pun menelurkan sejumlah keputusan sebagai hasil kongres. PSSI dalam salah satu butir keputusannya, membatalkan MoU yang sebelumnya disepati bersama dengan KPSI di Kuala Lumpur, karena menilai KPSI sudah banyak mengingkari MoU. Sementara KPSI pada salah satu butir hasil kongresnya menyatakan, akan mengambil alih kantor PSSI dan mengurus semua tugas-tugas PSSI.

Selanjutnya, hasil kongres mereka masing-masing akan diserahkan ke FIFA. Lagi, kedua kubu ini sama-sama pede bahwa hasil kongres mereka akan diterima FIFA.

Sementara itu, Pemerintah yang dalam hal ini yang diharapkan jadi penengah, justru terkesan tidak tegas dalam memberikan arahan. Agung Laksono yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menpora menggantikan Andi Mallarangeng tidak berani menunjuk mana organisasi yang sah di mata FIFA.

Beberapa hari lalu, Agung bahkan menyatakan tidak memberikan rekomendasi baik untuk PSSI maupun KPSI untuk menggelar kongres, meski dia juga mengaku tidak bisa melarang.

Namun, anehnya pernyataan Plt Menpora yang juga politisasi Golkar ini seakan berat sebelah. PSSI harus menggelar kongres yang dihadiri tiga perwakilan FIFA dan AFC, di lobi hotel, karena ruang ballroom hotel Aquarius yang sedianya akan digunakan sebagai arena kongres justru dikunci dan dijaga polisi. Sementara kubu KPSI justru bisa menjalankan kongresnya dengan aman dan lancar di Hotel Sultan, Jakarta.

Jika sudah begini, mau di bawa kemana sepakbola kita? Rasanya, ancaman sanksi yang didengungkan FIFA kali ini tak bisa lagi dielakkan, meski sebenarnya kedua kubu masih punya waktu sekira tiga hari untuk berdamai, atau sebelum FIFA membawa masalah kita ini dalam Sidang Exco di Jepang, 14 Desember 2012. (acf
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Brother baner

SEPUTAR BLOG,INTERNET,KOMPUTER.

WAHYOKU BLOG

Banner tatelu


 BELAJAR BARENG